Sunday, April 02, 2006

dua artikel yang pernah dimuat di kronika

Bioenergi , bukan Hanya Alternatif.

Bioenergi adalah energi yang bersumber dari biomassa – materi organik berusia relatif muda yang berasal dari makhluk hidup atau produk dan limbah industri budidaya (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan). Bioenergi adalah sumber energi terbarukan, yaitu sumber energi yang dapat tersedia kembali dalam jangka waktu tahunan, tidak seperti minyak bumi atau batu bara yang membutuhkan waktu jutaan tahun. Bioenergi juga ramah lingkungan karena tidak menambah jumlah karbon dioksida ke atmosfer – bahan mentahnya berasal dari organisme hidup yang mendapatkan karbonnya dari atmosfer. Selain itu bahan bakar berbasis bioenergi umumnya minim kandungan sulfur atau berbagai macam logam berat yang lazim digunakan sebagai aditif pada bahan bakar berbasis fosil. Bioenergi sebenarnya bukanlah suatu bentuk energi yang asing. Masyarakat di desa ada yang masih menggunakan kayu bakar. Meski terkesan kuno, banyak bentuk bioenergi lain yang lebih modern. Biodiesel, bioetanol dan biogas adalah beberapa di antaranya. Biodiesel sebenarnya sudah digunakan secara tidak langsung dalam bentuk peanut oil ketika Rudolf Diesel mengujicoba mesin dieselnya. Biodiesel adalah suatu metil ester asam lemak yang dapat berasal dari minyak lemak nabati via proses metanolisis atau asam lemak bebas via proses esterifikasi bersama dengan metanol. Bahan-bahan baku tersebut dapat diekstraksi dari kelapa, kelapa sawit, jarak pagar dan karet. Biodiesel dapat digunakan langsung pada mesin diesel yang sudah ada sebagai campuran untuk minyak diesel berbasis petroleum (petrodiesel) atau sebagai komposisi utama bahan bakar pada mesin diesel yang sudah dimodifikasi. Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari sumber daya hayati. Bioetanol dapat dibuat dari nira bergula dari tebu, aren, siwalan dan nipah; bahan berpati dari singkong, ubi jalar dan sagu; serta bahan berselulosa dari kayu, batang pisang, jerami dan bagas. Dari bahan-bahan mentah ini, bioetanol diproduksi via proses fermentasi alkoholik menggunakan bakteri Saccharomyces cerevisiae. Bioetanol dapat digunakan pada mesin bensin yang sudah ada tanpa modifikasi sebagai campuran bensin/gasohol (sampai dengan 22%-volum) atau pada mesin bensin khusus yang telah disesuaikan sebagai bahan bakar etanol berhidrat (85-95%-volum dan sisanya air). Saat ini, mesin bensin khusus ini hanya ada di pasar Brasil yang memang telah mengembangkan bioetanol sejak tahun 1970-an. Biogas adalah gas produk akhir pencernaan/degradasi anaerobik (dalam lingkungan tanpa oksigen) oleh bakteri-bakteri. Biogas terdiri dari metana (54-80%-volum) dan sisanya karbon dioksida. Biogas dapat diperoleh dari kotoran sapi, kotoran kuda, batang dan daun jagung, jerami dan sekam padi, rumput gajah dan eceng gondok.

Selain tiga jenis bahan bakar yang telah disebutkan di depan, bioenergi juga digunakan dalam bentuk biokerosin, minyak bakar nabati, hidrokarbon dari lateks alam serta pembangkitan listrik dari sisa/limbah panen dan pengolahan perkebunan dan pertanian. Indonesia yang sangat kaya dengan bahan-bahan mentah sumber energi berbasis hayati tersebut tentunya harus bisa memanfaatkan dengan baik.

Pertanyaannya, mengapa kita masih bergantung pada bahan bakar berbasis fosil bila kita mempunyai potensi yang sangat besar untuk bahan bakar berbasis hayati? Mengapa bioenergi hanya menjadi sebuah alternatif? Ada tiga hal yang bisa kita tinjau berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Tiga hal tersebut yaitu kebijakan pemerintah, paradigma berpikir masyarakat, serta teknologi yang saat ini dipakai di masyarakat.

Pemerintah kita sebenarnya sudah cukup tanggap dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan bioenergi. Hal ini bisa kita lihat dari beberapa peraturan yang sudah dikeluarkan pemerintah.
-Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2005 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik
-Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain
-Keputusan Menteri ESDM No. 0002 tahun 2004 tentang Kebijakan Energi Hijau
-Keputusan Menteri ESDM No.1122K/30/MEM/2002 Pedoman Pembangkit Skala Kecil Tersebar
-Peraturan Menteri ESDM No. 002/2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi Terbarukan Skala Menengah

Peraturan-peraturan ini telah menyediakan dukungan yang diperlukan untuk pengembangan bioenergi. Namun masih ada hal yang mengusik penulis. Dalam Inpres No.1 Tahun 2006 yang bertujuan mempercepat penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain (BBL), 13 Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota telah ditugaskan untuk mengambil langkah-langkah untuk melaksanakan percepatan dan pemanfaatan biofuel sebagai BBL. Lho, kok masih sebagai BBL? Selama bioenergi hanya dianggap sebagai alternatif dari bahan bakar fosil, kita tampaknya masih harus menunggu lebih lama lagi sampai bioenergi benar-benar bisa dimanfaatkan secara umum dan memasyarakat.

Paradigma berpikir masyarakat juga memegang peranan penting. Ada sebuah cerita yang penulis dengar sewaktu menjadi panitia seminar ”Pengembangan Bioenergi untuk Pembangunan yang Berkelanjutan” Ahad lalu di GSG Atas Salman. Ketika biogas berbasis kotoran sapi pertama kali dikembangkan di peternakan-peternakan sekitar Bandung, tanggapan pertama adalah rasa jijik para peternak yang berpikiran ”ih, pake tai buat masak?!”. Beberapa tahun kemudian ketika harga minyak tanah naik, para peternak yang dahulu mau mencoba memasang instalasi pembangkitan biogas pun menikmati rasanya ga usah beli minyak tanah.
Selain cerita dari peternakan sapi, penulis juga pernah mendengar tentang gasohol sebagai bensin oplosan. Memang gasohol adalah bensin yang dicampur dengan etanol, tapi campuran ini bahkan lebih bagus daripada Pertamax, berdasar ujicoba yang dilakukan peneliti BPPT (ujicoba dilakukan pada Kijang dengan kecepatan 80km/jam menggunakan gasohol E10/bensin dengan 10%-volum etanol).

Permasalahan paradigma ini bisa diatasi dengan pewacanaan-pewacanaan ke masyarakat dan kalau bisa dibantu dengan contoh-contoh nyata seperti kisah-kisah diatas.

Hal ketiga adalah teknologi yang saat ini dipakai di masyarakat. Bila kita ingin sepenuhnya mengaplikasikan bioenergi dalam kehidupan kita sehari-hari, tentu akan ada penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan.

Teknologi yang saat ini telah luas diterapkan di masyarakat kebanyakan memang masih untuk digunakan dengan bahan bakar berbasis fosil. Lihat saja semua mobil-mobil itu. Lihat saja semua motor-motor itu. Solusinya, ya penggunaan bahan bakar berbasis hayati yang tidak memerlukan modifikasi pada mesin-mesin bakar yang sudah ada. Biodiesel dan bioetanol sudah dapat digunakan dalam taraf tertentu dengan mesin-mesin tersebut. Namun, penerapan teknologi yang sesuai untuk penggunaan bahan bakar berbasis biomassa tetap harus dilakukan. Hal itu termasuk pengembangan fasilitas distribusi dan produksi. Pengembangan ini harus dilakukan dengan tidak tersentralisasi karena rata-rata bahan mentah bahan bakar berbasis biomassa memiliki radius pengumpulan ekonomik hanya 80 km. Pengembangan yang terdesentralisasi juga membantu menaikkan taraf ekonomi masyarakat daerah.

Akhir kata, memang bioenergi saat ini belum bisa dinikmati secara umum. Namun pengembangan-pengembangan yang dilakukan oleh kalangan peneliti, kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah mulai mendukung pengembangan bioenergi, serta pewacanaan-pewacanaan yang dilakukan oleh pemerintah, kalangan peneliti dan unit kegiatan mahasiswa membuktikan bahwa hari-hari dimana harga bahan bakar ga ikut-ikutan naik saat harga minyak dunia naik bukanlah suatu mimpi kosong lagi.


dan ini tulisan yang lebih lama lagi...


OPEN SOURCE SEBAGAI ALTERNATIF SOFTWARE BAJAKAN

Di masa kehidupan serba digital seperti sekarang ini, kita (setidaknya mahasiswa) tak bisa melepaskan kehidupan dari penggunaan komputer secara langsung. Entah untuk mengerjakan tugas kuliah, mendengarkan musik atau menonton film, menulis artikel, desain tata letak buletin atau menyalurkan hobi meng-oprek software komputer. Sadar atau tidak, kita sering melakukan itu semua dengan software hasil bajakan. Hal itu sudah menjadi bagian kehidupan keseharian kita, tanpa berpikir lebih panjang lagi apakah penggunaan software bajakan menyalahi aturan yang berlaku di negara kita atau tidak. Lebih jauh lagi, kita bahkan juga kurang peduli masalah halal atau haramnya penggunaan software bajakan.

Software Bajakan: Mengapa Bisa Booming?
Maraknya penggunaan software bajakan terjadi karena beberapa faktor. Pertama adalah mahalnya software itu sendiri. Satu kopi software keluaran Microsoft harganya berkisar ratusan dolar, entah itu sistem operasi (Windows®), game, ataupun Microsoft Office®. Melihat kondisi rakyat Indonesia yang untuk makan sehari-hari saja sudah susah, tentu saja mereka tidak akan memilih untuk membeli aplikasi-aplikasi dengan harga ratusan dolar itu. Masalah harga kelihatannya memang terkesan seperti monopoli dari perusahaan-perusahaan pembuat software, akan tetapi bukankah itu juga merupakan hak dari perusahaan tersebut, yang berhasil membuat software-nya menjadi lebih mudah dimengerti oleh pengguna?
Faktor tingginya harga inilah yang menyebabkan adanya faktor kedua, yaitu hadirnya bisnis penjualan software bajakan. Salah satu contohnya adalah penjual-penjual software bajakan di pinggir Jalan Ganesha. Faktor selanjutnya adalah konsumen. Mereka adalah orang-orang yang telah memakai komputer dalam keseharian mereka. Beberapa dari mereka mengetahui bahwa software bajakan itu tidak baik dan ilegal. Meskipun demikian, kebanyakan dari mereka memang tidak bisa beralih dari software bajakan. Ada yang merasa kerepotan bila harus memakai sistem operasi yang asing, sehingga memilih untuk tetap bertahan memakai Windows®. Ada yang memang—maaf kalau sedikit kasar—gaptek (gagap teknologi) dan tidak berani mencoba karena takut komputernya rusak. Ada pula yang memang tidak tahu bahwa ada sistem operasi selain Windows®.
Bila masalah yang dihadapi adalah tingginya harga yang harus dibayar ketika ingin membeli software asli, maka memang ide pertama yang muncul adalah membeli bajakannya yang lebih murah. Namun hal ini tak bisa dijadikan solusi mengingat segala risiko yang kita hadapi (baik di dunia maupun di akhirat). Resiko dunia, itu sudah jelas. Akhirat? Yup, berdasarkan KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 1/MUNAS VII/MUI/15/2005 Tentang PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HKI), setiap bentuk pelanggaran terhadap HKI, termasuk namun tidak terbatas pada menggunakan, mengungkapkan, membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, mengedarkan, menyerahkan, menyediakan, mengumumkan, memperbanyak, menjiplak, memalsu, membajak HKI milik orang lain secara tanpa hak, merupakan kezaliman dan hukumnya adalah haram.
Kekayaan intelektual di sini adalah kekayaan yang timbul dari hasil olah pikir otak, yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia, dan diakui oleh Negara berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, HKI adalah hak untuk menikmati dampak ekonomis dari hasil kreativitas intelektual milik yang bersangkutan, sehingga memberikan hak privat baginya untuk mendaftarkan, dan memperoleh perlindungan atas karya intelektualnya. Berdasarkan definisi tersebut software komputer termasuk kekayaan intelektual, dan usaha-usaha yang terkait dengan pembajakannya merupakan pelanggaran terhadap HKI.
Solusi utama tentu membeli produk yang sepadan namun sesuai dengan kemampuan keuangan kita, kalau bisa semurah mungkin atau bahkan gratis. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah software berjenis open source. Source code software tersebut dibuka untuk umum, sehingga anggota masyarakat yang mengerti dapat memodifikasinya, dengan catatan perubahan tersebut harus didokumentasikan. Karena source code-nya dibuka untuk umum, otomatis software tersebut menjadi gratis. Biaya-biaya tambahan mungkin hanya untuk masalah tetek bengek seperti harga CD (Compact Disc) dan kemasannya.

Mengapa Harus Open Source?
Mengapa tidak? Secara umum kita sudah tahu bahwa penggunaan software bajakan itu melanggar hukum. Sebagai produk alternatif dari software bajakan, software open source memiliki beberapa keunggulan. Murah, jelas. Yang gratis juga ada. Bahkan ada satu distro Linux yang menawarkan CD instalasi Linux hasil pengembangan mereka secara gratis—berapapun yang kita pesan—hanya dengan syarat kita mendaftarkan diri ke website distro tersebut. Selain itu, karena ada komunitas yang mengembangkan beramai-ramai suatu software open source dan tentu sudah terbiasa dengannya, maka kita bisa mengharapkan bantuan ketika menghadapi masalah dengan software open source tertentu. Software open source juga lebih sulit terkena virus ketimbang software berbasis Windows®.
Walaupun tampaknya menjanjikan jika dilihat dari sisi harga, software open source tetap tidak bebas dari kekurangan. Hal-hal yang signifikan bagi pengguna awam tampaknya belum mendapat perhatian. Ini tampak pada tampilan yang monoton, menu yang sulit dimengerti, pesan-pesan error yang tidak jelas, navigasi yang perlu diadaptasi lagi oleh pengguna (shortcut Windows® tentu tidak berfungsi lagi pada software jenis ini). Beberapa hal di atas bukannya tidak mendapat perhatian dari pengembang software open source. Namun bila dibandingkan dengan Windows®, kelemahan ini tentu akan menjadi sesuatu yang mengganggu bagi orang yang belum terbiasa.
Selain itu, software open source ini mungkin tidak mengenali beberapa jenis hardware. Inkompatibilitas atau ketidakcocokan ini disebabkan adanya sejumlah penyedia hardware yang tidak menyediakan source code untuk driver hardware-nya. Meskipun demikian, jumlah hardware yang belum dapat didukung oleh sistem operasi open source, semakin lama semakin sedikit berkat pengembangan terus-menerus dari komunitas open source.

Penutup
Sebagai salah satu alternatif sistem operasi bagi komputer, software open source memang tidak akan pernah luput dari kekurangan-kekurangan. Akan tetapi, berkat pengembangan yang dilakukan terus menerus oleh komunitas open source, kekurangan-kekurangan tersebut dapat diminimalisasi. Kekurangan yang masih ada serta belum terbiasanya masyarakat dalam penggunaan software open source, bukan hanya tanggung jawab komunitas open source. Kita semua juga bisa ikut memberikan kontribusi dalam pengembangan software open source.
Bagaimana caranya? Pertama, dengan ikut menggunakannya. Bila terasa susah untuk pertama kalinya, bukankah semua hal memang seperti itu? Bila merasa tidak cocok dengan tampilan, bukankah kita bisa mengkonfigurasinya agar cocok dengan selera kita? Setelah terbiasa menggunakannya, kebiasaan menggunakan software open source tersebut akan membawa kepada kontribusi kedua yang bisa kita lakukan. Yaitu agar setiap orang yang menggunakannya bisa ikut mengembangkan software tersebut, walaupun pengembangan itu awalnya hanya untuk diri kita sendiri. Agar setiap orang dapat semakin menerima software open source, semakin mudah menggunakannya, dan agar pengembangan software komputer–sesuatu yang sangat berharga bagi pengembangan kebudayaan manusia—tidak cuma dilakukan oleh orang yang itu-itu saja.


wassalamu 'alaikum

0 Comments:

Post a Comment

<< Home